Nasib Jutaan Honorer di Ujung Tanduk, Skema PPPK Paruh Waktu Bergantung Penuh pada 'Kantong' dan Kemauan Politik Pemda
Indonesia – Euforia yang sempat membuncah di kalangan jutaan tenaga honorer pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) kini perlahan meredup. ⭐🇮🇩⭐ beli juga kami di sini ya🤭🙏🇮🇩⭐⭐⭐🛫
Harapan akan adanya kepastian status melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu, yang digadang-gadang sebagai solusi pamungkas untuk menghindari pemecatan massal, kini dihadapkan pada sebuah keniscayaan pahit: realisasinya tidak berada di tangan pemerintah pusat, melainkan bergantung sepenuhnya pada kemampuan finansial dan kemauan politik setiap Pemerintah Daerah (Pemda).UU ASN 2023 memang telah menjadi payung hukum yang monumental. Regulasi ini secara tegas melarang adanya pemberhentian hubungan kerja (PHK) massal terhadap tenaga non-ASN yang datanya telah tercatat di Badan Kepegawaian Negara (BKN). Ini adalah jawaban atas kecemasan yang menghantui lebih dari 2,3 juta honorer menjelang tenggat waktu 28 November 2023 yang sebelumnya diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018.
Baca juga:
https://baguscorner45.blogspot.com/2025/06/jombang-di-antara-berkah-tunggorono-dan.html?m=1
Namun, di balik jaminan tersebut, tersembunyi sebuah mekanisme kompleks yang kini menjadi sorotan utama. Solusi yang ditawarkan, yakni PPPK Paruh Waktu, bukanlah sebuah kebijakan yang turun dari langit dan berlaku seragam secara otomatis. Ia adalah sebuah opsi, sebuah jalan tengah yang eksekusinya diserahkan kepada para kepala daerah—gubernur, bupati, dan wali kota.
Bola Panas di Tangan Pemerintah Daerah
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang, secara gamblang menjelaskan dinamika ini. Menurutnya, pemerintah pusat dan DPR telah menuntaskan tugas mereka dengan menyediakan landasan hukum yang kuat untuk menyelamatkan nasib para honorer. "Bola panas" kini telah secara resmi dilemparkan ke arena pemerintahan daerah.
"UU ASN ini adalah jalan keluar yang kami siapkan agar tidak ada pemecatan. Solusi konkretnya adalah melalui skema PPPK Paruh Waktu. Namun, perlu dicatat dan digarisbawahi, eksekusinya adalah kewenangan absolut Pemerintah Daerah karena ini menyangkut langsung dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)," tegas Junimart Girsang dalam keterangannya.
Pernyataan politikus PDI Perjuangan ini mengonfirmasi bahwa nasib para honorer, yang telah mengabdi selama bertahun-tahun dengan upah yang seringkali jauh di bawah standar, kini berada dalam ketidakpastian baru. Jika sebelumnya perjuangan mereka terpusat di Jakarta, menuntut kebijakan dari pemerintah pusat, kini medan perjuangan itu bergeser ke daerah masing-masing.
Persoalan krusialnya terletak pada kemampuan fiskal daerah yang sangat beragam. Bagi daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi, pengalokasian anggaran untuk gaji PPPK Paruh Waktu mungkin bukan menjadi kendala berarti. Namun, bagi ratusan daerah lain yang kondisi keuangannya pas-pasan dan sangat bergantung pada dana transfer dari pusat, mengangkat ribuan honorer menjadi PPPK—sekalipun paruh waktu—merupakan beban finansial jangka panjang yang sangat berat.
Perjuangan Tak Berhenti di Pusat, Pengawalan di Daerah Jadi Kunci
https://baguscorner45.blogspot.com/2025/07/gaji-jadi-soal-pemda-dingin-tanggapi.html
Menyikapi kebuntuan potensial ini, Junimart Girsang memberikan seruan keras kepada seluruh tenaga honorer di Indonesia, tanpa terkecuali, baik yang masuk dalam kategori R2 (Kategori II), R3, R4, hingga mereka yang sebelumnya berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam pendataan.
"Jangan lagi hanya menunggu dan berharap. Perjuangan belum selesai. Sekarang adalah waktunya untuk proaktif di daerah masing-masing. Kawal proses ini secara ketat," serunya.
"Pengawalan" yang dimaksud Junimart bukanlah sekadar aksi pasif. Ia merincikan beberapa langkah strategis yang harus segera ditempuh oleh para honorer dan forum-forum yang menaungi mereka:
Audiensi dan Lobi Politik: Para honorer diimbau untuk segera membangun komunikasi intensif dengan kepala daerah dan pimpinan DPRD setempat. Mereka harus memaparkan urgensi dari penataan status ini dan memastikan bahwa isu honorer menjadi prioritas dalam agenda pemerintahan daerah.
Memastikan Alokasi Anggaran: Puncak dari perjuangan di tingkat lokal adalah memastikan pos anggaran untuk gaji PPPK Paruh Waktu benar-benar tercantum dan disetujui dalam pembahasan APBD. Tanpa adanya alokasi anggaran yang jelas, janji pengangkatan hanya akan menjadi wacana kosong.
Verifikasi dan Validasi Data: Setiap honorer harus memastikan namanya terdaftar dengan benar dalam database BKN. Kesalahan data atau status yang belum terverifikasi bisa menjadi celah bagi Pemda untuk tidak mengakomodasi mereka dalam skema pengangkatan.
"Jika Pemda beralasan tidak memiliki anggaran, maka di situlah perjuangan harus lebih ditingkatkan. Libatkan DPRD sebagai fungsi pengawas anggaran untuk mendorong eksekutif mencari solusi. Tanpa tekanan dan pengawalan dari bawah, nasib Anda bisa terkatung-katung," tambah Junimart.
Kondisi ini menempatkan para honorer dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, ada payung hukum yang melindungi mereka dari PHK. Di sisi lain, jaminan untuk mendapatkan status dan penghidupan yang lebih layak kini bergantung pada dinamika politik dan kekuatan anggaran di daerah, yang seringkali memiliki prioritas pembangunan lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Nasib jutaan abdi negara ini kini benar-benar berada di persimpangan jalan, menuntut mereka untuk menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan mereka sendiri.(R1)
****
TAG: ASN, GAJI, PEMDA, KENDALA PPPK DIANGKAT
refadav.com/?ref=eteqjx5VLmsEWZok4UoD3vMyG24Y5y7- uang dan monitice traffik website dan blog dll anda, #hijaukan⭐🤭🙏🇮🇩
BalasHapus